Penulis: Dewi Lestari "DEE"
Laki-laki dan perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di pekarangan.
Perempuan itu hafal rutinitas
ketat yang berlaku di sana. Laki-laki di sebelahnya memangkas rumput setiap
Selasa, Kamis, dan Sabtu. Mencuci baju putih setiap Senin, baju berwarna gelap
setiap Rabu, baju berwarna sedang setiap Jumat. Menjerang air panas setiap hari
pukul enam pagi untuk semua penghuni rumah. Menghitung koleksi sabun mandinya
yang bermerek sama dan berjumlah genap seratus, setiap pagi dan sore.
Banyak orang yang bertanya-tanya
tentang persahabatan mereka berdua. Orang-orang penasaran tentang topik obrolan
mereka dan apa kegiatan perempuan itu selama berjam-jam di sana. Sudah jadi
pengetahuan umum bahwa ibu dari laki-laki itu, yang mereka sebut Bunda, sangat
pandai memasak. Rumah Bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah
indekos paling legendaris. Bahkan, ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota
ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan Bunda. Setiap Lebaran,
Bunda memasak layaknya katering pernikahan. Terlalu banyak mulut yang harus
diberi makan. Namun, jika cuma akses tak terbatas atas masakan Bunda yang jadi
alasan persahabatan mereka berdua, orang-orang tidak percaya.
Laki-laki itu, yang biasa mereka
panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah Bunda, nomor dua
sesudah blasteran Doberman yang galaknya di luar akal, tapi untungnya sekarang
sudah ompong dan buta. Abang tidak galak, tidak menggigit, tapi orang-orang
sering dibuat habis akal jika berdekatan dengannya. Setiap pagi dia
membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek air panas
untuk mandi. Dia menjemput baju-baju kotor dan bisa ngadat kalau disetorkan warna
yang tidak sesuai dengan jadwal mencucinya. Sekalipun sanggup, Bunda tidak bisa
memasang pemanas air bertenaga listrik atau sel surya. Anaknya harus menjerang
air. Secerek air panas dan mencuci baju sewarna adalah masalah eksistensial
bagi Abang.
Mengubah rutinitas itu sama saja
dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.
Bukannya tidak mungkin
berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tinggi yang
berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam
mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi Bunda.
Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tak bisa mengobrolkan
makna. Abang gemar mempreteli teve, radio, bahkan mobil, lalu merakitnya lagi
lebih baik daripada semula. Dia hafal tahun, hari, jam, bahkan menit dari
banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama di atas
piano, bahkan lebih sempurna. Namun, dia tidak memahami mengapa orang-orang
harus pergi bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.
Perempuan di pekarangan itu tahu
sesuatu yang orang lain tidak. Abang adalah pendengar yang luar biasa.
Perempuan itu bisa bebas bercerita masalah percintaannya yang berjubel dan
selalu gagal. Tidak seperti kebanyakan orang, Abang tidak berusaha memberikan solusi.
Abang menimpali keluh kesahnya dengan menyebutkan daftar album Genesis dan
tahun berapa saja terganti pergantian anggota. Gerutuannya pada kumpulan
laki-laki berengsek yang telah menghancurkan hatinya dibalas dengan gumaman
simfoni Beethoven dan tangan yang bergerak-gerak memegang ranting kayu bak
seorang konduktor. Abang tidak bisa beradu mata lebih dari lima detik, tapi
sedetik pun Abang tidak pernah pergi dari sisinya. Ia pun menyadari sesuatu
yang orang lain tidak. Laki-laki di sampingnya itu bisa jadi sahabat yang luar
biasa.
Barangkali segalanya tetap sama
jika Bunda tidak menemukan surat-surat yang ditulis Abang. Untuk kali
pertamanya, anak itu menuliskan sesuatu di luar grup musik art rock atau
sejarah musik klasik. Ia menuliskan surat cinta—kumpulan kalimat tak tertata
yang bercampur dengan menu makanan Dobi, blasteran Doberman yang tinggal tunggu
ajal. Tapi ibunya tahu itu adalah surat cinta.
Barangkali segalanya tetap sama
jika adik Abang, anak bungsu Bunda, tidak kembali dari merantau panjang
di luar negeri. Sang adik, kata orang-orang, adalah hadiah dari Tuhan untuk
ketabahan Bunda yang cepat menjanda, disusul musibah yang menimpa anak
pertamanya, seorang gadis yang bahkan tak sempat lulus SD, yang meninggal
karena penyakit langka dan tak ada obatnya, lalu anak keduanya, Abang, mengidap
autis pada saat dunia kedokteran masih awam soal autisme sehingga tak pernah
tertangani dengan baik. Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut
orang-orang adalah figur sempurna. Ia pintar, normal, dan fisiknya menarik. Ia
hanya tak pernah di rumah karena sedari remaja meninggalkan Indonesia demi
bersekolah.
Barangkali sang adik tetap
menjadi figur yang sempurna jika saja ia tidak memacari perempuan satu-satunya
yang dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda tahu, secerek air panas dan
cucian berwarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas lain:
perempuan itu. Dan bagi Abang, rutinitas tidak sekadar hobi, tetapi eksistensi.
Kali pertama Bunda mengetahui si
bungsu dan perempuan itu berpacaran, Bunda langsung mengadakan pertemuan empat
mata. Ia memilih perempuan itu untuk diajak bicara pertama karena dipikirnya
akan lebih mudah.
“Bagi kamu, ini pasti terdengar
aneh. Mereka dua-duanya anak Bunda. Tapi kalau ditanya, siapa yang bisa
mencintai kamu paling tulus, Bunda akan menjagokan Abang.”
Perempuan itu terenyak. Apa-apaan ini? pikirnya gusar. Jangan pernah bermimpi
dia akan memilih manusia satu itu untuk dijadikan pacar. Jelas tidak mungkin.
Bunda melanjutkan dengan suara
tertahan, “Dia mencintai tidak cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan
basa-basi surat cinta, tidak cuma rayuan gombal, tapi fakta. Adiknya bisa cinta
sama kamu, tapi kalau kalian putus, dia dengan gampang cari lagi. Tapi Abang
tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur
hidupnya.”
“Tapi… Bunda bukan malaikat yang
bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama
saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.”
Saat itu mata Bunda berkaca-kaca.
Begitu juga dengan matanya. Tak lama mereka menangis berdua. Namun, ia tahu
perbedaan dirinya dengan Bunda. Bagi perempuan itu, cinta tanpa pilihan adalah
penjara. Ia ingin dirinya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia
satu-satunya pilihan yang ada.
Masih sambil berbaring, dengan punggung
tangannya, perempuan itu mengusap-usap rumput. Lengannya bergerak lambat dan
gemulai seolah menarikan tari perpisahan. Ini akan menjadi malam Minggu
terakhirnya di pekarangan serapi lapangan golf. Semalam mereka bicara bertiga.
Dia, Bunda, dan si bungsu.
“Dia tidak bodoh.”
“Bunda, saya tahu dia tidak
bodoh.”
“Dia akan segera tahu kalian
berpacaran.”
“Mami, lebih baik dia tahu
sekarang daripada nanti setelah kami menikah.”
Bunda melengakkan kepala dengan
tatapan tak percaya. “Bagi abangmu, apa bedanya sekarang dan nanti?”
“Kami tidak mungkin
sembunyi-sembunyi seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah berseru.
“Kalau perlu, kalian harus
sembunyi-sembunyi seumur hidup!” balas Bunda lebih tegas.
“Ini tidak adil. Ini tidak masuk
akal…,” protes anaknya lagi.
“Jangan bicara soal adil dan
masuk akal. Aturan kamu, aturan kita, tidak berlaku bagi dia…,” desis Bunda,
“kamu tidak tinggal di rumah ini. Kamu tidak mengenalnya seperti Mami.”
Suatu hari, pernah ada anak
indekos yang jail. Dia menyembunyikan satu dari seratus sabun koleksi Abang.
Bunda sedang pergi ke pasar waktu itu. Abang mengacak-acak satu rumah, lalu
pergi minggat demi mencari sebatang sabunnya yang hilang. Tiga mobil polisi
menelusuri kota mencari jejaknya. Baru sore hari ia ditemukan di sebuah warung.
Ada sabun yang persis sama dipajang di etalase dan Abang langsung menyerbu
masuk untuk mengambil. Penjaga warung menelepon polisi karena tidak berani
mengusir sendiri.
Kejadian itu mengharuskan Abang
diterapi selama beberapa bulan ke rumah sakit dan diberi obat-obat penenang.
Bunda tahu betapa anaknya membenci rumah sakit dan obat-obatan itu hanya
membuat otaknya rapuh. Tak ada yang memahami bahwa seratus sabun adalah syarat bagi
anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.
“Kamu harus tetap kemari setiap
malam minggu. Tidak bisa tidak,” kata Bunda kepada perempuan itu. “Dan selama
di rumah ini, kalian tidak boleh kelihatan seperti kekasih. Buat kalian mungkin
tidak masuk akal. Tapi hanya dengan begitu abangmu bisa bertahan.”
Selepas berbicara dengan Bunda,
mereka berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari
kehidupan rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu di sana.
Mereka menolak menjadi bagian dari ritual menjerang air, cuci baju, dan seratus
sabun.
Di pekarangan dengan tinggi
rumput seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal di dalam hati.
Persahabatan yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan di luar batas
kesanggupannya. Perempuan itu mengucap maaf berkali-kali dalam hati.
Sejenak lagi, malam Minggu
terakhir mereka usai.
YYYYYYY
Bunda menangisi setiap malam
Minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia menangis
cukup dalam hati.
Semua anak indekos kini menyingkir
jika malam Minggu tiba. Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan,
barang-barang yang diberantaki, dan seseorang yang hilir mudik gelisah mengucap
satu nama seperti mantra. Menanyakan keberadaannya.
Kalau beruntung, Abang akhirnya
kelelahan sendiri lalu tertidur di pangkuan ibunya. Kalau tidak, sang ibu
terpaksa menutup hari anaknya dengan obat penenang.
Pada setiap penghujung malam
Minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh membasahi
wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur memeluk kakinya
erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu, tidak ada suara
lain di rumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati.
Bunda tak bisa dan tak merasa
perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan
mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan
meledakkannya dengan sia-sia.
Perempuan muda itu benar. Dirinya
bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama.
Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan
dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang
indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup
waktu untuk dirinya sendiri.
Tidak perlu ada kompetisi di sini.
Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar