Kamis, 18 Desember 2014

MALAIKAT JUGA TAHU


Penulis: Dewi Lestari "DEE"


Laki-laki dan perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di pekarangan.
Perempuan itu hafal rutinitas ketat yang berlaku di sana. Laki-laki di sebelahnya memangkas rumput setiap Selasa, Kamis, dan Sabtu. Mencuci baju putih setiap Senin, baju berwarna gelap setiap Rabu, baju berwarna sedang setiap Jumat. Menjerang air panas setiap hari pukul enam pagi untuk semua penghuni rumah. Menghitung koleksi sabun mandinya yang bermerek sama dan berjumlah genap seratus, setiap pagi dan sore.
Banyak orang yang bertanya-tanya tentang persahabatan mereka berdua. Orang-orang penasaran tentang topik obrolan mereka dan apa kegiatan perempuan itu selama berjam-jam di sana. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa ibu dari laki-laki itu, yang mereka sebut Bunda, sangat pandai memasak. Rumah Bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah indekos paling legendaris. Bahkan, ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan Bunda. Setiap Lebaran, Bunda memasak layaknya katering pernikahan. Terlalu banyak mulut yang harus diberi makan. Namun, jika cuma akses tak terbatas atas masakan Bunda yang jadi alasan persahabatan mereka berdua, orang-orang tidak percaya.
Laki-laki itu, yang biasa mereka panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah Bunda, nomor dua sesudah blasteran Doberman yang galaknya di luar akal, tapi untungnya sekarang sudah ompong dan buta. Abang tidak galak, tidak menggigit, tapi orang-orang sering dibuat habis akal jika berdekatan dengannya. Setiap pagi dia membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek air panas untuk mandi. Dia menjemput baju-baju kotor dan bisa ngadat kalau disetorkan warna yang tidak sesuai dengan jadwal mencucinya. Sekalipun sanggup, Bunda tidak bisa memasang pemanas air bertenaga listrik atau sel surya. Anaknya harus menjerang air. Secerek air panas dan mencuci baju sewarna adalah masalah eksistensial bagi Abang.
Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.
Bukannya tidak mungkin berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi Bunda. Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tak bisa mengobrolkan makna. Abang gemar mempreteli teve, radio, bahkan mobil, lalu merakitnya lagi lebih baik daripada semula. Dia hafal tahun, hari, jam, bahkan menit dari banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama di atas piano, bahkan lebih sempurna. Namun, dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.
Perempuan di pekarangan itu tahu sesuatu yang orang lain tidak. Abang adalah pendengar yang luar biasa. Perempuan itu bisa bebas bercerita masalah percintaannya yang berjubel dan selalu gagal. Tidak seperti kebanyakan orang, Abang tidak berusaha memberikan solusi. Abang menimpali keluh kesahnya dengan menyebutkan daftar album Genesis dan tahun berapa saja terganti pergantian anggota. Gerutuannya pada kumpulan laki-laki berengsek yang telah menghancurkan hatinya dibalas dengan gumaman simfoni Beethoven dan tangan yang bergerak-gerak memegang ranting kayu bak seorang konduktor. Abang tidak bisa beradu mata lebih dari lima detik, tapi sedetik pun Abang tidak pernah pergi dari sisinya. Ia pun menyadari sesuatu yang orang lain tidak. Laki-laki di sampingnya itu bisa jadi sahabat yang luar biasa.
Barangkali segalanya tetap sama jika Bunda tidak menemukan surat-surat yang ditulis Abang. Untuk kali pertamanya, anak itu menuliskan sesuatu di luar grup musik art rock atau sejarah musik klasik. Ia menuliskan surat cinta—kumpulan kalimat tak tertata yang bercampur dengan menu makanan Dobi, blasteran Doberman yang tinggal tunggu ajal. Tapi ibunya tahu itu adalah surat cinta.
Barangkali segalanya tetap sama jika adik Abang, anak  bungsu Bunda, tidak kembali dari merantau panjang di luar negeri. Sang adik, kata orang-orang, adalah hadiah dari Tuhan untuk ketabahan Bunda yang cepat menjanda, disusul musibah yang menimpa anak pertamanya, seorang gadis yang bahkan tak sempat lulus SD, yang meninggal karena penyakit langka dan tak ada obatnya, lalu anak keduanya, Abang, mengidap autis pada saat dunia kedokteran masih awam soal autisme sehingga tak pernah tertangani dengan baik. Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang adalah figur sempurna. Ia pintar, normal, dan fisiknya menarik. Ia hanya tak pernah di rumah karena sedari remaja meninggalkan Indonesia demi bersekolah.
Barangkali sang adik tetap menjadi figur yang sempurna jika saja ia tidak memacari perempuan satu-satunya yang dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda tahu, secerek air panas dan cucian berwarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas lain: perempuan itu. Dan bagi Abang, rutinitas tidak sekadar hobi, tetapi eksistensi.
Kali pertama Bunda mengetahui si bungsu dan perempuan itu berpacaran, Bunda langsung mengadakan pertemuan empat mata. Ia memilih perempuan itu untuk diajak bicara pertama karena dipikirnya akan lebih mudah.
“Bagi kamu, ini pasti terdengar aneh. Mereka dua-duanya anak Bunda. Tapi kalau ditanya, siapa yang bisa mencintai kamu paling tulus, Bunda akan menjagokan Abang.”
Perempuan itu terenyak. Apa-apaan ini? pikirnya gusar. Jangan pernah bermimpi dia akan memilih manusia satu itu untuk dijadikan pacar. Jelas tidak mungkin.
Bunda melanjutkan dengan suara tertahan, “Dia mencintai tidak cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, tidak cuma rayuan gombal, tapi fakta. Adiknya bisa cinta sama kamu, tapi kalau kalian putus, dia dengan gampang cari lagi. Tapi Abang tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur hidupnya.”
“Tapi… Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.”
Saat itu mata Bunda berkaca-kaca. Begitu juga dengan matanya. Tak lama mereka menangis berdua. Namun, ia tahu perbedaan dirinya dengan Bunda. Bagi perempuan itu, cinta tanpa pilihan adalah penjara. Ia ingin dirinya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia satu-satunya pilihan yang ada.
Masih sambil berbaring, dengan punggung tangannya, perempuan itu mengusap-usap rumput. Lengannya bergerak lambat dan gemulai seolah menarikan tari perpisahan. Ini akan menjadi malam Minggu terakhirnya di pekarangan serapi lapangan golf. Semalam mereka bicara bertiga. Dia, Bunda, dan si bungsu.
“Dia tidak bodoh.”
“Bunda, saya tahu dia tidak bodoh.”
“Dia akan segera tahu kalian berpacaran.”
“Mami, lebih baik dia tahu sekarang daripada nanti setelah kami menikah.”
Bunda melengakkan kepala dengan tatapan tak percaya. “Bagi abangmu, apa bedanya sekarang dan nanti?”
“Kami tidak mungkin sembunyi-sembunyi seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah berseru.
“Kalau perlu, kalian harus sembunyi-sembunyi seumur hidup!” balas Bunda lebih tegas.
“Ini tidak adil. Ini tidak masuk akal…,” protes anaknya lagi.
“Jangan bicara soal adil dan masuk akal. Aturan kamu, aturan kita, tidak berlaku bagi dia…,” desis Bunda, “kamu tidak tinggal di rumah ini. Kamu tidak mengenalnya seperti Mami.”
Suatu hari, pernah ada anak indekos yang jail. Dia menyembunyikan satu dari seratus sabun koleksi Abang. Bunda sedang pergi ke pasar waktu itu. Abang mengacak-acak satu rumah, lalu pergi minggat demi mencari sebatang sabunnya yang hilang. Tiga mobil polisi menelusuri kota mencari jejaknya. Baru sore hari ia ditemukan di sebuah warung. Ada sabun yang persis sama dipajang di etalase dan Abang langsung menyerbu masuk untuk mengambil. Penjaga warung menelepon polisi karena tidak berani mengusir sendiri.
Kejadian itu mengharuskan Abang diterapi selama beberapa bulan ke rumah sakit dan diberi obat-obat penenang. Bunda tahu betapa anaknya membenci rumah sakit dan obat-obatan itu hanya membuat otaknya rapuh. Tak ada yang memahami bahwa seratus sabun adalah syarat bagi anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.
“Kamu harus tetap kemari setiap malam minggu. Tidak bisa tidak,” kata Bunda kepada perempuan itu. “Dan selama di rumah ini, kalian tidak boleh kelihatan seperti kekasih. Buat kalian mungkin tidak masuk akal. Tapi hanya dengan begitu abangmu bisa bertahan.”
Selepas berbicara dengan Bunda, mereka berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari kehidupan rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu di sana. Mereka menolak menjadi bagian dari ritual menjerang air, cuci baju, dan seratus sabun.
Di pekarangan dengan tinggi rumput seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal di dalam hati. Persahabatan yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan di luar batas kesanggupannya. Perempuan itu mengucap maaf berkali-kali dalam hati.
Sejenak lagi, malam Minggu terakhir mereka usai.
YYYYYYY
Bunda menangisi setiap malam Minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia menangis cukup dalam hati.
Semua anak indekos kini menyingkir jika malam Minggu tiba. Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan, barang-barang yang diberantaki, dan seseorang yang hilir mudik gelisah mengucap satu nama seperti mantra. Menanyakan keberadaannya.
Kalau beruntung, Abang akhirnya kelelahan sendiri lalu tertidur di pangkuan ibunya. Kalau tidak, sang ibu terpaksa menutup hari anaknya dengan obat penenang.
Pada setiap penghujung malam Minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh membasahi wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur memeluk kakinya erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu, tidak ada suara lain di rumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati.
Bunda tak bisa dan tak merasa perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia.
Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.
Tidak perlu ada kompetisi di sini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.

Rabu, 17 Desember 2014

JEMBATAN ZAMAN




Penulis: Dewi Lestari "DEE"


Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya.
Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah. Ia merasa telah melihat segala dari ketinggiannya. Namun masih ingatkah ia dengan sepetak tanah mungil waktu masih kerdil dulu? Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun seolah bola kaca dari surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik?

Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. Kini burung besar bahkan bersangkar di ketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya. Namun jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi.

Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu.

Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh ke atas tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh selalu ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani.
Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri.


SELAGI KAU LELAP

Penulis: Dewi Lestari "Dee"





Sekarang pukul 01.30 pagi ditempatmu. Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung bantal. Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur terlungkup dengan muka menghadap sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal ? Aku selalu ingin mencuri waktumu. menyita perhatianmu. Semata-mata upaya bisa terpilin masuk ke  dalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang berbaring.

Sudah hampir tiga puluh tahun aku begini. Dua belas bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini : 4.354.560.000. Itulah banyak milisekon sejak pertama aku jatuh cinta padamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik sampai skala nano. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada disitu. Di tiap inti detik, dan di dalamanya lagi dan lagi, dan lagi...Penunjuk waktuku tak perlu mahal-mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Rolex tak mampu berikan itu.

Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.

Sekarang pukul 02.30 di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku disini. menyumbangkan 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. terima kasih, Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa ku tambahkan satu rupiah, atauu lebih baik lagi, dolar, di belakangnya, tapi engkau tidak ternilai. engkau adalah pangkal, ujung dan segalanya yang ditengah-tengah. Sensasi ilahi. Tidak dolar, tidak juga yen, mampu menyajikannya.

Aku tak pernah terlalu tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering disitu. Entah siapa. Mungkin cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling..sudah. Stop. Aku tak sanggup melanjutkannya. Membanyangkan saja ngeri. Apa rasanya dipeluk dan didekap tanpa pretensi? Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagaikan mengitari Gunung Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapat Tanah Perjanjian. Kini, izinkan aku tidur. menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada disana, tidak terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.

Begitu banyak yang ingin ku bicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang.. tak ada yang tak bisa kita lakukan, bukan ? Tapi kalo boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur disebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemarimu menggapai- gapai.

Tidurku meringkuk ke sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapn. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku disana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai. Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam... mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa 'SELAMAT PAGI'.

Minggu, 07 Desember 2014

CINTA TAK BERTUAN



BY: DEWI LESTARI (DEE)

Sepanjang hidup, kita seolah tak berhenti berusaha menaklukkan cinta. Cinta harus satu, cinta tak boleh dua, cinta maksimal empat, dan seterusnya. Jika cinta matematis, pada angka berapakah ia pas dan pada angka berapakah ia bablas? Dan kita tak putus merumuskan cinta, padahal mungkin saja cinta yang merumuskan kita semua. Infinit merangkul yang finit. Hidup berpasangan katanya sesuai dengan alam, seperti buaya yang hidup monogami tapi ironisnya malah menjadi ikon ketidaksetiaan.

Namun terkadang kita melihat seekor jantan mengasuh sekian banyak betina sekaligus, berparade seperti rombongan sirkus. Dan itu pun ada di alam. Lalu ke mana manusia harus bercermin? Sebagaimana semua terpecah menjadi dua kutub dalam alam dualitas ini, terpecahlah mereka yang percaya cinta multipel pastilah sakit dan khianat dengan mereka yang percaya cinta bisa dibagi selama bijak dan bajik. Yang satu bicara hukum publik dan nurani, yang satu bicara hukum agama dan kisah hidup orang besar. Yang satu mengusung komisi anti itu-ini, yang satu menghadiahi piala poligami.

Merupakan tantangan setiap kita untuk meniti tali keseimbangan antara intuisi individu dan konsensus sosial. Sukar bagi kita untuk menentukan dasar neraca yang mensponsori segala pertimbangan kita: apakah ini urusan salah dan benar, atau sebetulnya cocok dan tak cocok? Jika urusannya yang pertama, selamanya kita terjebak dalam debat kusir karena setiap orang akan merasa yang paling benar. Jika urusannya yang kedua, masalah akan lebih cepat selesai.

Kecocokan saya bukan berarti kecocokan Anda, dan sebaliknya. Namun seperti yang kita amati dan alami, lebih sering kita memilih yang pertama agar berputar dalam debat yang tak kunjung selesai. Semalam, saya menerima sms massal yang mengatasnamakan ibu-ibu seluruh Indonesia yang mengungkapkan kekecewaannya pada seorang tokoh yang berpoligami. Pada malam yang sama, sahabat saya menelepon dan kami mengobrolkan konsep poliamori (hubungan cinta lebih dari satu). Alhasil, saya terbawa untuk merenungi beberapa hal sekaligus.

Pertama, orang yang kita kenal sebatas persona memang hanya kita miliki personanya saja. Persona adalah lapisan informasi paling rapuh, pengenalan paling dangkal, dan oleh karena itu paling cepat musnah. Orang yang tidak kita kenal paling gampang untuk dijustifikasi ketimbang orang yang kita kenal dekat.

Kedua, apakah monogami-poligami dan monoamori-poliamori ini adalah sekat-sekat tegas yang menentangkan nurani versus ego dan 'setia' versus 'buaya'? Mungkinkah dikotomi itu sesungguhnya proses cair yang senantiasa berubah sesuai tahapan yang dijalani seseorang, ketimbang karakteristik baku yang harus dipilih atau distigmakan sekali seumur hidup? Sungguh tidak mudah menjadi seseorang yang personanya diklaim sebagai milik umat banyak. Persona seperti secabik tisu yang dengan mudah dienyahkan, diganti dengan tisu baru lainnya yang dianggap lebih bagus dan benar. Banyak dari kita bermimpi dan berjuang mati-matian agar secabik diri kita dimiliki banyak orang.

Hidup demikian memang sepintas menyenangkan dan menguntungkan, meski konsekuensinya titian tali yang kita jalani semakin tipis. Ilmu keseimbangan kita harus terus diperdalam. Tali itu harus dijalani ekstra hati-hati. Tidak mudah juga menjadi seseorang yang sangat teguh berpegang pada persona orang lain, pada mereka yang dianggap tokoh, teladan, panutan. Status selebriti bisa ada karena persona yang dipabrikasi massal lewat media lalu 'selebaran'-nya menjumpai kita, dan kita pungut. Kita mengoleksi persona mereka seperti pemungut selebaran. Terkadang kita lupa, pengenalan dan pemahaman kita hanya sebatas iklan yang tertera. Oleh karenanya justifikasi yang kita lakukan seringnya bagai memecah air dengan batu; sementara dan percuma saja. Tak terasa efeknya bagi hidup kita, tak juga bagi hidup yang bersangkutan.

Kita yang kecewa barangkali bukan karena cinta telah diduakan. Cinta tak bertuan. Kitalah abdi abdi cinta, mengalir dalam arusnya. Persepsi kitalah yang telah diduakan. Lalu kita merasa sakit, kita merasa dikhianati. Namun tengoklah apa yang sungguh-sungguh kita pegang selama ini. Perlukah kita ikut berteriak jika yang kita punya hanyalah selebarannya saja, bukan barangnya? Barangkali ini momen tepat untuk mengevaluasi aneka selebaran yang telah kita kumpulkan dan kita percayai mati-matian. Betapa seringnya kita hanyut dalam kecewa, padahal persepsi kitalah yang dikecewakan. Betapa seringnya kita menyalahkan pihak lain, padahal ketakberdayaan kita sendirilah yang ingin kita salahkan. Apapun persepsi kita atas cinta, tak ada salahnya bersiap untuk senantiasa berubah. Jika hidup ini cair maka wadah hanyalah cara kita untuk memahami yang tak terpahami. Banyak cara untuk mewadahi air, finit mencoba merangkul infinit, tapi wadah bukan segalanya. Pelajaran yang dikandungnyalah yang tak berbatas dan selamanya tak bertuan, yang satu saat menghanyutkan dan melumerkan carik-carik selebaran yang kita puja. Siap tak siap, rela tak rela.

Minggu, 16 November 2014

SIKAT GIGI




JUDUL: SIKAT GIGI

BY: DEWI LESTARI (DEE)


Ia kembali melongokkan kepalanya keluar jendela, menatap langit yang berantakan oleh bintang dan ribut sendiri. Ia selalu histeris akan hal-hal yang tak kumengerti. Setelah kami berdua duduk di atas rumput, ia pun menjelaskan dengan tabah. "Coba lihat…langit begitu hitam sampai batasnya dengan bumi hilang. Akibatnya kerlip bintang dan lampu kota bersatu, seolah-olah berada di satu bidang. Luar biasa kan?"
Egi selalu mampu menggambarkan segalanya dengan tepat, indah dan rasional. Atau mungkin itulah satu-satunya cara agar aku mampu mengerti keindahan yang ditangkap matanya. Aku bukan pujangga dan tidak pernah menyukai makna-makna konotatif. Monokrom dan kurang dimensi, begitu katanya selalu tentang diriku. Pragmatis dan realistis, demikian aku menerjemahkannya. 



Dengan segala rasio dan akal, aku pun mencintai wanita di sampingku itu. Egi, yang telah lama kukenal, teman baikku, sosok yang dapat kubanggakan sekaligus kukagumi. Ia mampu berpanjang lebar menjelaskan filosofi cinta dan adieksistensinya, sementara aku sendiri tak akan pernah menganalisis cinta. Yang aku tahu, aku amat peduli dengannya, sebisa mungkin ingin selalu bersamanya, dan aku yakin kami dapat bekerja sama membina apa pun, termasuk rumah tangga. Itulah aplikasi substansi Cinta bagiku, dan cukup sekian. Egi juga tahu itu. 
"Kamu nggak kedinginan?" tanyaku sambil siap-siap membuka jaket. 
Mendengarnya Egi yang hanya memakai cardigan tipis menjadi sadar akan dinginnya cuaca. Ia pasti telah hanyut jauh dalam dunianya sendiri. Dalam balutan jaketku Egi pun meringkuk. Matanya masih menerawang. Aku tahu apa yang ia lamunkan apalagi setelah mendengar helaan nafasnya, tapi aku enggan bertanya. Untuk apa mengungkit sesuatu yang akan membuat pikiranku terganggu.
Tak lama kemudian kami kembali ke Jakarta.

***
"Sudah lama ya kita nggak jalan-jalan ke Puncak lagi," ujar Egi yang melengang dengan sikat gigi di tangan. "Terakhir kapan ya?"
"Fiuh, bulan yang lalu? Waktu langit dan bumi jadi satu itu."
Egi menatapku lucu. "Kamu punya ingatan hebat, tapi kamu mengatakannya sama datar dengan bilang’1+1=2’…"
Suara sikat beradu dengan gigi pun menggema dari kamar mandi. Egi selalu lama kalau menyikat gigi. Aku pun kembali meneruskan bacaanku, dengan kaki berselonjor di sofa panjang.
Tiba-tiba suara gosokan itu berhenti. Malam yang heningh membuatku menjadi awas akan perubahan yang terjadi. Aku melirik sedikit, pintu kamar mandi terbuka dan Egi tengah berdiri mematung dengan sikat gigi penuh busa.
"Gi….kamu baik-baik saja?"
Cukup lama Egi tidak menjawab, sampai akhirnya perlahan ia berkumur.
"Tyo, saya kepingin pulang saja ya." Dengan lunglai ia menghampiriku.
"Sudahlah, kamu di sini saja, besok pagi saya antar pulang. Saya malas keluar lagi," kataku seraya menguap. Aku tak perlu berbasa-basi dengan Egi. Kami sudah cukup dewasa dan cukup dekat satu sama lain untuk tidak lagi canggung kalau Egi terpaksa menginap di tempat tidurku sementara aku tidur di sofa panjang ini, bangun pagi dan sarapan bersama, sampai aku mengantarkannya pulang atau langsung ke tempat kerjanya. Egi bahkan menginventariskan sebuah sikat gigi di kamar mandiku.
Tiba-tiba mata itu berkaca-kaca. "Saya merasa nggak karuan," gumamnya pelan. 
Mendadak aku merasa bersalah. Seringkali aku bersikap terlalu kritis kalau Egi menangis. Aku selalu berusaha menginjeksikan logika yang kupikir perlu namun ternyata malah membuat ia makin sedih dan menganggap aku tak bisa atau tak suka menolongnya. Tak heran kalau ia lebih memilih pulang daripada harus meledakkan tangisnya di depanku.
"Kamu di sini saja. Menangis sesuka hati. Saya janji akan diam, oke?" Aku tersenyum dan menariknya duduk di sampingku, kembali membaca. 
"Tyo…" panggilnya setelah sekian lama mematung.
"Hmmm?"
"Saya suka sekali menyikat gigi. Mau tahu kenapa?"
Ingin sekali kulontarkan jawaban spontan, seperti ‘supaya gigi tidak bolong’ atau ‘afeksi berlebihan akan rasa odol’, tapi kuputuskan untuk diam.
"Di saat saya menyikat gigi saya hampir tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Nyaris tidak memikirkan apa-apa karena berkonsentrasi penuh walaupun cuma dua atau tiga menit. Dunia saya mendadak sempit…hanya gigi, busa dan odol. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tyo, tapi berarti sangat banyak."
Aku tahu apa yang kau maksud, wahai Egi, pujanggaku sayang. Untung sudah cukup lama aku terlatih membaca makna-makna tersirat dalam kalimatnya, walaupun belum cukup lama untuk mengerti alasan-alasan di balik itu semua. Seperti untuk apa ia memilih menikmati luka yang cuma bikin ia sedih dan menangis.
Aku menatapnya iba. Egi dengan air mata yang berlinangan di pipi, tangisannya yang tak pernah bersuara. Dan linangan itu menderas ketika aku menutup bukuku, memilih untuk merangkulnya.
"Kamu…pasti sebenarnya…sudah ingin ngomel-ngomel." Ia berbisik susah payah.
"Saya tetap tidak mengerti. Tapi semuanya terserah kamu…" Aku menghela nafas seraya menepuk-nepuk bahunya.
Saat seperti ini membuatku berpikir lagi, jangan-jangan aku terlahir cacat. Ada satu bahasa di semesta ini yang tidak masuk ke dalam paket kelahiranku, makanya aku selalu gagal mengerti, sekalipun seorang ahlinya ada sangat dekat di sini. Egi adalah guru besar bahasa aneh itu. Bahasa yang berasal dari planet tempat cinta adalah segala-galanya dan mempunyai logika dan hukumnya sendiri. Dan apa pun yang kupelajari selama ini tetap tak mampu mendekatkanku pada pengertian komprehensif akan hal satu itu.

***
Ulang tahunnya yang ke-27. Setelah makan malam bersama teman-teman kami yang dipenuhi tawa dan keceriaan, kini kami kembali berdua. Matanya yang menerawang jauh, kakinya yang meringkuk, nafasnya yang mulai ditarik-ulur. Demikianlah Egi, bahkan di hari seistimewa ini sekalipun.
Keheningan selalu membawanya ke perbatasan yang sama, batas antara dunia riil dan satu alam yang masih tak kumengerti itu. Dan hampir tak ada yang dapat menahannya menyeberang.
"Ini…hadiah untuk kamu." Aku membuyarkan lamunannya.
Egi agak terkejut melihat kotak yang disodorkan di depan amtanya. Ia pun tertawa kecil. "Sejak kapan kamu kasih kado segala?"
"Usia 27 adalah usia penting." jawabku sekenanya.
Tawanya semakin lebar ketika ia tahu apa isi kotak itu. 
Aku langsung sibuk menjelaskan, "Sikat gigi elektronik. Bergaransi, watt kecil, anti plak, sikatnya banyak dan masing-masing beda fungsi. Seri ini punya kemasan khusus buat travelling, jadi kamu bisa pakai di rumah atau bawa ke tempat saya…tidak akan terlalu repot. Ini buku panduannya…"
"Tyo," potongnya geli seraya menahan tanganku. "Saya tahu kamu adalah manusia paling realistis yang pasti akan memilih hadiah praktis seperti ini, tapi…kenapa sikat gigi?"
Aku menatap kedua mata itu, dan untuk pertama kalinya ada kegugupan yang entah hinggap dari mana.
"Soalnya…ehm soalnya…" Aku gelagapan dan buru-buru menunduk. 
Kuatur nafas sejenak dan mengusir jauh-jauh keparat yang telah menghambat lidahku, melirik sekilas dan mendapatkan Egi tengah menunggu jawabanku sambil tersenyum. Senyuman yang mampu mencairkan sel-sel kelabu otak. Senyuman Egi dari dunia nyata, bukan antah berantah itu.
"Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu," kata-kata itu akhirnya meluncur keluar.
"Pengharapan apa yang kamu punya, dan kekuatan apa yang sanggup menahan kamu sekian lama di sana. Tapi kalau memang menyikat gigi adalah satu dari sedikit tiket yang bisa membawa kamu pulang, maka saya ingin kamu semakin asyik menyikat gigi, semakin lama menggosok. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di satu-satunya dunia yang saya tahu dan mengerti. Satu-satunya tempat di mana saya eksis bagi kamu."
Ia terperangah. Menjauh.
"Egi…jangan…" Langsung aku berkata was-was.
"Kamu tahu perasaan saya dan saya tidak pernah mau membahas soal ini lagi…"
"Saya juga tidak mau, tapi inilah kenyataanya. Kenyataannya saya tidak pernah berubah dari bertahun-tahun yang lalu… dan saya pikir kamu juga tahu itu. Ya, ampun, buka mata kamu sekali ini saja Egi!"
"Kamu sahabat saya… sahabat terbaik…" Ia makin menjauh. Bersiap menutup diri.
"Sampai kapan kamu terus mengharapkan dia?" 
Tak tahan aku pun berseru, "Orang yang tidak pernah hadir di saat-saat kamu paling membutuhkan dukungan, orang yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari seluruh waktu yang kamu habiskan untuk melamunkan dia, orang yang tidak tahu bahwa kamu bahkan harus menyikat gigi hanya untuk bisa melepaskan dia barang tiga menit dari pikiran kamu? Orang yang bahkan sudah punya kehidupannya sendiri?"
"Dia ingin datang. Biar itu cuma dalam hati. Dan dia akan menjemput saya, di kesempatan pertama yang dia punya. Saya juga bisa merasakan kalau dia selalu memikirkan saya."
"Kapan kamu akan bangun, Egi?" keluhku letih.
Ia menggeleng. "Ini yang namanya cinta sejati. Satu hal yang tidak kamu tahu."
Aku balik menggeleng. "Itu kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tuna netra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang yang mengobati lukanya dengan cuka dan bukannya obat merah."
Egi menyentuh wajahku sekilas. "Semoga suatu saat kamu mengerti."
Kata-kataku habis sudah. Dalam hati aku menolak tegas pernyataanya dan ia pun bisa melihatnya jelas. Apa yang ia yakini tentang perasaannya berada di luar akalku. Mana mungkin aku bisa mengerti.
Kami berdua berdiri berhadapan, dua manusia yang telah bersahabat bertahun-tahun lamanya, namun malam ini kami merasa asing satu sama lain. Aku mencintai Egi. Egi mencintai pria lain, yang sekarang bahkan sudah berumah tangga. Demikianlah fakta sederhana yang telah kami ketahui bersama. Kemalangan itu diperparah lagi karena keinginanku yang logis untuk memilikinya bukanlah cinta bagi Egi, sementara cintanya Egi adalah substansi ekstra-terestrial bagiku.
Kami tak mampu lagi berkomunikasi.

***
Hampir genap setahun tak ada Egi dalam hari-hariku. Tidak ada lagi yang menerjemahkan keindahan alam. Tidak ada lagi yang menunjukkan signifikasi di balik hal-hal remeh. Tidak ada lagi yang duduk di sofa panjangku untuk melalap buku-buku filsafat. Tapi yang paling aku kehilangan adalah mendengarkan ia menyikat gigi.
Hampir setiap saat aku berusaha merasionalkan semua ini dan kesimpulanku selalu sama…aku harus menemuinya lagi. Bukan satu hal yang sulit untuk menemukannya. Ia masih Egi yang dulu, yang dapat kutemui sore-sore sedang membaca buku di bangku taman berbukit-bukit di komples rumahnya. Yang sulit adalah mengungkapkan apa yang tak pernah aku sadari. Yang sulit adalah tidak punya harapan apa-apa sesudah aku selesai menyampaikannya nanti.
"Egi…"
Ia berbalik, kaget luar biasa ketika mendapatkanku muncul lagi dalam hidupnya begitu saja. Lebih kaget lagi ketika aku langsung duduk di hadapannya dan meraih jemarinay dnegan tanganku yang dingin karena tegang.
"Sebentar saja. Saya tidak akan lama," ucapku cepat untuk meredam rasa kagetnya.
Ia pun seperti tidak bisa berkata apa-apa, hanya jemarinya ikut jadi dingin.
"Saya tidak akan pernah jadi pujangga dan tetap ngantuk kalau baca buku filsafat. Saya tetap Tyo, si pragmatis realis yang melihat segalanya dengan tiga dimensi dan bukannya empat seperti kamu. Tapi sekarang saya mengerti kondisi aneh itu…" Aku menelan ludah. "Karena saya sudah mengalaminya. Kebutaan itu. Dan saya tahu sekarang, saya mencintai kamu bukan hanya dengan logika dan rasio. Bukan karena sekadar kamu memenuhi standar saya, tapi…karena saya juga mencintai kamu di luar akal. Satu tahun saya menemukan cukup banyak alternatif yang masuk akal, tapi saya memang tidak ingin yang lain. Hanya kamu. Apa adanya, termasuk alam lamunan yang tidak pernah ada saya di dalamnya."
"Dan saya tetap Tyo yang kalkulatif dan tidak mau rugi. Tapi saya benar-benar tidak mengharap apa-apa kali ini. Saya hanya ingin mengatakan ini semua dan sudah. Habis perkara." Aku menutup pernyataanku dengan senyum semampunya. Berusaha bangkit berdiri, walau berat sekali. Tangan Egi yang sedingin es batu tiba-tiba menahanku.
"Kamu mau kemana?" tanyanya lirih.
"Mm..jalan-jalan…" jawabku tidak yakin.
"Ikut," ujarnya pendek seraya berdiri melipat buku.
Kami berdua berjalan meninggalkan taman. Seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sama sekali tak ada jejak spasi kosong dari satu tahun yang sepi itu.
"Saya sendiri sudah banyak berpikir murni dengan sel-sel otak seperti yang kamu anjurkan, menerjemahkan apa yang kamu anggap absurditas. Dan kesimpulannya…" Ia berkata lamat-lamat, "Tidak akan ada orang lain yang mengerti alam itu selain kita sendiri. Tapi kemanapun yang saya pilih kamu tetap orang yang paling nyata dan paling berarti. Saya tidak harus menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamu adalah jalan pulang, rumah yang nyaman dan tiket sekali jalan. Saya tidak ingin pergi lagi. Itu juga kalau kamu tidak keberatan kita menjalaninya pelan-pelan."
Perjalanaan singkat menuju mobilku sore itu adalah gerbang menuju sebuah perjalanan baru yang panjang.

***
Egi benar. Banyak hal yang tak bisa dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan. Dan kesempatan itu harus ditawarkan setiap hari oleh kedua belah pihak. Aku pun benar, kami berdua mampu membangun apa saja, baik persahabatan belasan tahun maupun kebersamaan seumur hidup.
Setiap kali aku duduk di sofa dan memandang Egi yang asyik menyikat gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan sikat gigi tak mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan dunia absurd tempat perasaanku kepadanya bersemayam, dunia yang ternyata amat kusukai. Ketakutan yang timbul justru karena sekarang aku benar-benar mengerti perasaan Egi dan semua alasannya dulu. ***